Seribu Cintaku Untuk Ayah♥
Surga memang berada di
telapak kaki Ibu. Tetapi pernahkah terlintas sejenak dalam pikiran kalian,
bahwa seorang Ayah juga punya peran yang sangat berharga dalam kehidupan
kalian? Ya, memang benar jika Ayah bagaikan sebongkah berlian yang sangat cerah
nan sulit didapat. Saya bisa mengatakan seperti itu, karena sesungguhnya hanya Ayah
yang rela berkorban untuk menghidupiku, Ayah yang rela menguras keringat demi
keluargaku, dan bahkan hanya Ayah yang rela banting tulang dari teriknya
matahari hingga terbenamnya matahari tanpa mengeluh sedikitpun. Mungkin kalian
tidak pernah mengerti seberapa lelahnya ia berjuang melawan rintangan hidup dan
mungkin kalian tidak pernah melihat tetesan keringat yang jatuh membasahinya
tanda bahwa ia sangat letih. Ayah hanya ingin memperlihatkan senyuman dan hasil
jerih payahnya kepada anak dan istrinya. Dan bahkan Ayah selalu berusaha untuk
menutupi rasa lelahnya. Begitu besarnya bukti Ayah mencintai keluarganya. Masih
sajakah kalian ingin memaki-maki Ayahmu? Masih sajakah kalian ingin membenci
Ayahmu? Dan masih sajakah kalian ingin menyia-nyiakan perjuangan Ayah untukmu?
Sangat disesalkan jika kalian tidak bisa menentukan sikap. Dewasakanlah
pikiranmu mulai saat ini.
Pada suatu hari, di pagi nan cerah, tampak sesosok
keluarga bahagia nan harmonis sedang berkumpul di depan rumah. Sebut saja
keluarga Pak Ngadi. Pak Ngadi selalu saja mengajarkan kepada anaknya, Irfan,
bagaimana cara berbuat baik dan memperbanyak amal ibadah. Irfan adalah seorang
anak yang sangat berbakti dan bahkan ia bisa dikategorikan dalam kategori anak
yang sholeh. Hari-harinya selalu ia lewati dengan sholat, mengaji, sekolah, dan
masih banyak lagi kegiatan yang ia tekuni.
“Yah, Irfan berangkat
sekolah dulu ya.”sahut Irfan kepada Ayahnya.
“Iya nak, belajar yang
rajin yah. Hati-hati.”jawab Ayahnya dengan lantang.
Sepulang
sekolah, Irfan terlebih dahulu sholat di mushola dan langsung menuju TPQ untuk
mengaji. Lagi-lagi ia selalu berpamitan kepada Ayahnya, baik berangkat maupun
pulang dari kegiatan. Ayahnya memang sangat baik dan sangat sayang dengan
Irfan, lain halnya dengan Ibunya. Ibunya seperti Ibu tiri yang selalu menyiksa
anaknya. Irfan tak pernah dipedulikan, diberi kasih sayang, dan bahkan Irfan
tak pernah mendapatkan surga Ibunya. Irfan selalu mendapatkan caci maki dari
Ibunya. Makan pun, Irfan
selalu diberi makan tahu dan tempe tiap harinya. Tetapi yang membuat saya
bangga dengan Irfan, ia tak pernah mengeluh dengan apa yang telah diberikan
Allah terhadapnya. Ia hanya mensyukuri semua nikmat yang telah dianugerahi.
Walaupun beribu-ribu kali goresan dari Ibunya selalu jadi santapan tiap
harinya, ia selalu bersikap lapang dada.
Pada
suatu malam, Ayah Irfan tiba-tiba mengeluh kesakitan. Irfan pun langsung
meminta tolong kepada tetangganya untuk mengantar Ayahnya ke rumah sakit
terdekat. Dengan sangat panik, Irfan pun mengatakan “Yah, Ayah kenapa begini?
Apa yang telah terjadi, sampai Ayah mengeluh kesakitan seperti ini?”
“Ayah tidak apa, Ayah
hanya sedikit kesakitan di lambung. Mungkin hanya maag biasa.”jawab Ayahnya
penuh dengan ketenangan.
“Ya sudah, Yah. Ayah
harus cepat sembuh. Ayah harus tetap menjadi semangat Irfan.”support Irfan
terhadap Ayahnya.
“Iya, Ayah pasti selalu
jadi semangat Irfan. Irfan juga harus rajin belajar dan tetap berjuang meraih
cita-cita ya. Jangan pernah Irfan berubah untuk menjadi sosok yang lebih buruk.”sahut
Ayah.
Tak
lama pun, Ayah Irfan langsung tak sadarkan diri. Pihak rumah sakit berusaha
untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional.
Tiba-tiba
seorang perawat keluar dari ruang UGD Ayah Irfan. Dan dengan bergegas pun,
Irfan langsung menanyakan kondisi Ayahnya saat ini.
“Sus, bagaimana keadaan
Ayah saya?”tanya Irfan kepada salah satu suster di rumah sakit tersebut.
“Ayah kamu, terkena
Asam Lambung.”jawab suster dengan ramah.
“Astaghfirullah. Kenapa
Ayah bisa mengidap penyakit seperti itu? Setahuku, Ayah tak pernah mengeluh
kesakitan dan bahkan Ayahku terlihat baik-baik saja,Sus.”ucap Irfan.
“Entahlah, kamu sabar
saja ya, Dik. Teruslah berdoa yang terbaik untuk kesembuhan Ayahmu.” ujar
suster berusaha menenangkan hati Irfan.
“Iya sus, terima
kasih.”jawab Irfan.
Setelah beberapa jam menunggu, akhirnya Ayahnya sadar
kembali. Tak perlu berbasa-basi lagi, Irfan dan Ibunya memasuki ruangan di mana
Ayahnya dirawat. Di ruangan tersebut, keluarga mereka terlihat sangat harmonis.
Dan bahkan mereka berbincang-bincang sangat lama sekali, tanpa mempedulikan
waktu.
Lalu, tiba giliran orang tua saya untuk menjenguk Om saya
itu. Di ruangan itu, suasana menjadi haru ketika melihat keadaan Om saya yang
tergeletak dengan tubuh yang sangat kurus sekali dan perut yang semakin
membesar. Saya begitu prihatin dengan keadaan Om saya itu. Begitu pun juga
dengan Ibuku, adik dari Omku itu, terlihat meneteskan air mata saat berbincang-bincang
dengan Om saya tersebut.
Setelah lama berbincang, keluargaku pun memutuskan untuk
kembali ke rumah. Dan kemudian berpamitan kepada Om saya tersebut serta tak lupa
berpamitan dengan orang-orang yang ada di dalam rumah sakit Anwar Medika
tersebut.
“Mas, cepat sembuh yah.
Jangan terlalu banyak pikiran.” ujar Ibuku terhadap Om Ngadi.
“Amin. Terima kasih
banyak, Dik, sudah menjengukku.” jawabnya.
“Iya Mas, sama-sama.
Saya pamit pulang dulu ya.”ucap Ibuku.
“Ya, hati-hati di
jalan.” kata Omku.
Sepulang dari rumah sakit, orang tuaku masih saja membicarakan
hal dan topik yang sama. Mereka sama-sama merasa tak percaya dan tak kuasa
melihat kenyataan yang ada. Sangat tidak mungkin dan mustahil rasanya, jika Om
saya yang tampak sehat-sehat saja dan sama sekali tak punya riwayat keturunan
seperti itu, bisa mempunyai penyakit yang tak pernah diduga-duga sebelumnya. Tetapi takdir berkata lain. Musibah itu harus
terjadi dan harus menimpa Om saya itu.
“Kenapa Om kamu bisa
menderita penyakit seperti itu? Kurang kah perhatian dari istrinya? Atau pola
makan Om kamu yang tidak sehat dan tidak teratur?” Ibuku bertanya-tanya.
“Mungkin istrinya
kurang perhatian sekaligus kurang peduli dalam hal menyediakan makanan yang
sehat, Bu. Ibu tau sendiri kan bagaimana tingkah laku istrinya Om? Kepada
anaknya saja seperti ibu tiri, bagaimana dengan suaminya sendiri? Pasti lebih
parah daripada itu.” ujarku sedikit kesal.
“Husss, kamu tidak boleh berkata seperti itu.” Jawab Ibuku.
“Baiklah, Bu.” Kataku dengan
tersenyum.
Setelah berbincang-bincang, kami memutuskan untuk
beristirahat, karena mengingat hari sudah sangat gelap sekali. Tetapi tak lama
kemudian, handphone Ibu saya berdering sangat keras. Dan membuat Ibuku langsung
terbangun dari tidurnya lalu dengan cepat mengangkat telepon tersebut.
“Halo, ini siapa?” tanya Ibuku dengan sedikit panik.
“hu...huhu..” terdengar suara seseorang yang sedang menangis.
“Halo...Halo...Ada apa ini?” tanya Ibuku lagi.
“Kakakmu meninggal
dunia.......” sahutnya.
“Inalillahi wa
inalillahi rojiun.” Jawab Ibuku tak kuasa menahan tangis.
Semua keluargaku panik dan tak pernah menyangka jika
semua bisa terjadi secepat ini. Dengan sangat terburu-buru, keluargaku langsung
bergegas menuju rumah sakit tersebut untuk melihat Om saya untuk yang terakhir
kalinya.
Sesampai disana, saya melihat keluarga dari Om saya,
terlihat begitu sedih dan sangat sulit untuk menerima semua ini dengan ikhlas.
Begitupun juga dengan anak kesayangan Om saya, yang bernama Irfan. Ia juga
terlihat begitu terpukul dengan kepergian Ayahnya.
“Yang sabar ya, Irfan.
Aku yakin, pasti kamu bisa kuat dan tegar dalam menghadapi cobaan ini.” Ujarku
terhadap Irfan.
“Iya, terima kasih
banyak atas duka citanya. Tetapi dari hati yang paling dalam, sungguh aku sangat
sulit untuk menerima semua ini. Aku rasa, baru saja aku berada di samping
Ayahku dan berbicara banyak dengannya. Tetapi mengapa semua bisa terjadi
secepat ini? Aku sungguh tak percaya kalau Ayah harus menghembuskan nafas
terakhirnya. Jujur aku masih membutuhkan Ayahku. Aku masih sayang dengan
Ayahku. Hanya beliau yang selalu ada di sampingku dan hanya beliau yang mampu
membangkitkan semangatku kembali. Aku sangat tak kuasa untuk menghadapi
kenyataan ini. Aku ingin Ayahku kembali............” jawab Irfan sambil
meneteskan air mata.
“Iya, aku sangat tau
apa yang kamu rasakan saat ini. Pasti kamu sangat terpukul dan sangat sedih dengan
apa yang kamu alami saat ini. Tetapi cobalah untuk tegar dan ikhlas menerima,
karena hanya itu yang membuat Ayahmu tenang di alam sana.” Kataku memberikan
semangat.
“Baiklah, aku akan mencoba
untuk tegar. Walaupun aku sangat tak kuasa menahan tangisku.” Ucap Irfan sambil
menangis tersedu-sedu.
Dari kenyataan yang telah terjadi, saya berusaha untuk
memetik suatu pelajaran dibalik kesedihan yang telah dialami oleh Irfan.
Mungkin semua terjadi secepat buah apel yang jatuh dari pohonnya. Tak pernah
disangka dan tak pernah menyangka bahwa jatuhnya buah apel tersebut akibat
gravitasi bumi. Ya, sama seperti kehidupan. Dengan silih bergantinya waktu,
semua pasti kembali kepada Sang Pencipta. Tidak akan pernah ada yang bisa
mengetahui kehendak Allah itu. Meskipun semua orang tak kuasa untuk
menerimanya, tetapi sesungguhnya Allah lebih mengetahui rencana yang telah ia
buat.
Inilah arti kehidupan. Semua mempunyai peran yang sama.
Tidak hanya Ibu yang menjadi peran utama dalam kehidupan. Dan bahkan bukan sosok
Ayah yang menjadi peran pendukung. Namun lebih pantasnya adalah Ayah dan Ibu
yang menjadi peran utama dalam suatu skenario. Dan apabila salah satu pemeran
utama tersebut tiba-tiba menghilang, suatu skenario tidak lagi mempunyai makna
yang pasti. Sama seperti yang telah terjadi saat ini. Ketika kalian merasakan
hanya mempunyai satu kaki, apa yang kalian rasakan? Pasti dalam pikiran kalian
adalah sangat sulit untuk berjalan layaknya manusia normal. Inilah yang
dirasakan oleh seorang anak yatim yang bernama Irfan. Ia berusaha untuk
berjalan dengan satu kaki, meskipun ia tak punya satu kaki lagi untuk
menjadikannya mampu berdiri tegak.
Bersyukurlah kalian yang masih mempunyai orang tua. Walau
mereka sering memberi nasihat padamu, tetapi sesungguhnya ia sangat menyayangimu
lebih dari yang kau tahu. Jadi, jangan pernah kalian sia-siakan dan jangan
sesekali kalian mencoba untuk menyakiti hati mereka. Karena sesungguhnya kalian
belum pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang menjadi
tonggak dalam kehidupan kita, seseorang yang selalu ada dalam suka dan duka,
dan seseorang yang selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. Begitu menyakitkan,
bahkan lebih sakit daripada menyayat-nyayat tangan kita sendiri.
Saya dan keluarga hanya bisa membantu dan memberikan
semangat untuk Irfan agar ia kembali berkobar seperti dulu lagi. Walaupun tidak
banyak sedekah yang kita beri untuk anak yatim sepertinya, tetapi
setidak-tidaknya kita masih mampu untuk menjelaskan arti hidup yang sebenarnya
kepada Irfan. Ia tak boleh menyerah, tak boleh putus asa, dan tak boleh patah
semangat dalam meraih cita-cita, seperti pesan terakhir yang disampaikan oleh
Ayahnya pada waktu itu.
“Bu, kasihan yah Irfan.
Dia kan masih butuh perhatian dari Ayahnya. Tetapi tak disangka, seseorang yang
sangat menyayanginya malah pergi mendahuluinya.”ujarku kepada Ibuku.
“Ya, seperti itulah
hidup. Maka dari itu kita harus pandai-pandai dalam bersikap. Karena tanpa
disadari pun, terkadang sikap kita bisa melukai hati orang lain. Jangan kamu
sia-siakan perjuangan Ayahmu yah. Ayahmu rela loh
jatuh bangun hanya demi menghidupi keluarga kita. Bahkan banyak-banyaklah kamu bersyukur
masih mempunyai seorang Ayah yang begitu kuat untuk memenuhi kebutuhan kita
bersama ya. Meskipun tak banyak rejeki yang telah dihasilkan, namun sungguh,
hanya kebersamaanlah yang jauh lebih berarti daripada sebatang emas.” Jawab
Ibuku dengan tersenyum.
“Iya Bu, saya bersyukur
mempunyai Ayah seperti Ayahku ini. Beliau memang pahlawan yang tidak ada
duanya. Hehehe.” Gurauku dengan Ibu.
“Iya,Nak. Kamu benar
sekali. Jagalah baik-baik amanah Ibu itu. Dan ingat satu lagi ya,Nak, kamu
harus banyak-banyak membantu anak yatim seperti Irfan. Karena justru anak yatim
yang seperti itu lah yang haus akan perhatian dan lapar akan kasih sayang orang
tuanya. Bantulah ia untuk menjaga imannya agar ia tak goyah dalam bersikap ya.”
ujar Ibuku.
“Baik,Bu. Saya akan membantu
Irfan semampu dan sebisaku.” Jawabku dengan tersenyum lebar.
Setelah kejadian tersebut, keluargaku mulai pandai dalam
membina kebersamaan. Masing-masing saling berusaha untuk memperkuat tali
persaudaraan agar tak mudah putus walau dihempas ombak. Dan satu sama lain
mencoba untuk saling bahu-membahu dalam membantu anak yatim seperti Irfan. Kita
berusaha membantunya baik berupa materi maupun berupa dorongan, agar ia mampu
kembali menjalani hidup seperti dahulu kala.
Komentar
Posting Komentar